Found You Again [P]

Timeline: Awal Februari, jam pelajaran ke empat, sekitar jam 1 siang

Mendung.
Mungkin itulah judul yang pas untuk Seiji akhir-akhir ini. Bagaimana tidak? Ini sudah bulan Februari. Masa hidupnya di sekolah ini bisa dibilang hampir akan berakhir. Ujian-ujian baik lisan, tulisan ataupun praktikum yang dilewatinya tak begitu bisa diharapkan. Waktu memang berlalu begitu cepat, dant ak akan ada yang menduganya. Bahkan satu kedipan mata saja bisa terasa sudah habis sepersekian detik. Ups, berlebihan.

Ya sekalinya mendung tetap mendung.
Itu bisa berarti orang-orang pasti malas keluar dari tempatnya berteduh. Seperti sekarang yang dilakukannya dikala senggang. Bukannya senggang juga sih, hanya menjadi anak sekolah yang malas mengikuti pelajaran saja kok. Cukup bilang ke guru bahwa ia sedang tak enak badan, dan guru itu pun menyuruhnya berbaring di UKS. Kadang wajah polos juga bisa berguna ya. Namun setibanya di UKS malah terasa malas untuk berbaring meski sejenak, selain karena ada si guru UKS yang berkacamata itu. Ada yang bilang 'berbahaya'. Beruntung. Rasanya semilir angin membawanya untuk keluar dari gedung.

Berjalan mengitari halaman belakang mencari tempat yang nyaman untuk berteduh sementara, hingga akhirnya ada papan tulisan dilarang masuk. Apa ini? Belum pernah dilihatnya. Matanya menjulang ke atas sesaat mendengar seperti sebuah detik jam. Sebuah menara jam tua. Sepertinya menara tua. Sampai disegel oleh papan. Mungkin juga tempat angker persis seperti rumor yang pernah disinggungkan oleh banyak siswa, terutama teman-teman sekamarnya. Jadi penasaran, kira-kira ada penunggunya tidak ya?

"Cih,.... ada-ada saja"

Di saat begini jarum jam yang selalu berjalan tiap detik itu malah bergerak agak lama. Pelajaran berikutnya masih lama. Santai sajalah. Paling-paling gurunya juga absen. Tidak ada tugas ataupun ujian lagipula.

Diputuskan langkahnya tidak akan kembali menginjak pijakan yang sama, persis sebelum ia sampai ke tempat ini. Mungkin ini akan menjadi tempat yang cukup tepat untuknya kalau sedang butuh waktu untuk sendiri.

Entah sudah sejak kapan tempat ini menjadi tempat pelarian Kaoru. Segala bentuk kenangan terasa bisa tertarik kembali dalam ingatan dan seakan menjadi suatu kejadian yang baru kemarin terjadi. Kaoru hanya memandang menara itu Lekat dan mengengadahkan kepalanya ke atas berusaha melihat puncak menara itu. Suatu hal yang melelahkan karena leher Kaoru terasa sangat pegal tapi terus dilakukan seakan itu adalah hal yang mampu Kaoru lakukan sekarang.

Si kecil dari asrama Yume ini sungguh paling mampu menyakiti dirinya sendiri. Padahal, ia bisa saja pergi ke tempat lain yang lebih menyenangkan daripada tempat sepi yang jarang di datangi orang begini, di tambah lagi, terlalu banyak kenangan Noa di tempat ini. Walau Kaoru hanya sekali berada disini bersama Noa namun kenangan pada hari itulah yang paling mengenak di hati Kaoru. Di penuhi perasaan bahagia, berdebar, dan malu-malu.

Seperti...

Menjadi dirinya lagi di masa lalu, saat Mamoru masih hidup dan Kaoru masih 'hidup' untuk mencintai pemuda itu. Kaoru mengganti posisi kepalanya dan menunduk, menatap kepalan jarinya dan saat dibukanya, ada gantungan kunci berbentuk boneka beruang yang diberikan Mamoru kepadanya saat kecil dulu.

Kaoru sama sekali tidak menyadari ada orang yang baru saja datang dan menemaninya di dekat menara ini. Yah, Kaoru memang sengaja kabur dari pelajaran hari ini. Ia sedang malas berada di kelas, mendengarkan guru berceramah tentang pelajaran mereka dan berinteraksi dengan siapapun yang ada di sekolah ini. Maka dari itu jika Kaoru menyadari sosok yang akan datang sebentar lagi mendekat ke arahnya yang memang paling dekat dengan menara itu. Mungkin ia akan terkejut.

Jadi, adakah penunggunya?

Melingkari jawaban ya setelah mendapati ada aura seseorang disekitar. Batalkan saja niat menghabiskan waktu seorang diri di sini. Toh tak mungkin mengusir, tempat ini bukan milik siapapun selain pihak sekolah.

Rasa ingin tahu siapa seseorang itu diwujudkan dengan lebih maju melangkah mendekati menara itu lagi. Ada juga ya yang sepertinya, membolos di saat jam pelajaran berlangsung. Sekolah ini bukan mendidik untuk menghasilkan siswa yang pandai menghabiskan waktu diluar jam pelajaran kan?

"...Lho? Kaoru-chan? Sedang apa di sini?"

Hafal panggilan setelah menoleh, melihat sesosok yang tak asing lagi dengan ciri khas warna putih dirambutnya. Bukan salah satu ciri khas yang mencolok sih, sebab tak sedikit murid yang memiliki warna rambut yang seperti itu. Hanya ingat bentuk tubuh yang kecil dimata cokelat kemerahannya.

"Jangan bilang kau membolos nih" Tawa canda ditunjukkan sambil melangkah mendekati laki-laki bertubuh mungil itu.
Hal yang lebih menyenangkan di luar kelas memang selalu mudah ditemukan ya.

"...Lho?" Kaoru merasa sekujur tubuhnya panas dingin saat suara itu tertangkap di kedua daun telinganya. Kaoru merasa tubuhnya beku seketika dan sama sekali tidak bisa bergerak untuk memalingkan wajahnya ke hadapan panghasil suara itu. Kaoru memejamkan matanya erat-erat. "Kaoru-chan? Sedang apa di sini?" Entah mengapa Kaoru membayangkan sesosok yang dikenalnya, dengan kedua bola mata dan rambut yang hitam legam dan senyum yang selalu bisa membekukan Kaoru setiap melihatnya. Membayangkan sesosok Mamoru Takegawa. Namun, Kaoru tahu dia bukan Mamoru, karena Mamoru sudah tiada. Tapi akal sehat Kaoru seakan berhenti bekerja dan ia hanya ingin hidup dalam keinginannya saja.

Bahwa itu suara Mamoru dan bukannya suara orang lain.

"Jangan bilang kau membolos nih"

"B--bukan urusanmu..." Jawab Kaoru gugup bukan main dan menggenggam erat gantungan kunci itu makin erat hingga membuat kulitnya memerah. Sebenarnya Kaoru tahu siapa pemilik suara itu sesungguhnya. Dia bayangan yang berbeda dengan Mamoru-nya. Amat sangat berbeda, yang menyamai mereka hanya satu. Suara mereka saja.

Tertawa lebar ketika jawaban yang diterimanya hanya satu kalimat pendek, dan itu sepertinya memang bukan hal yang harus diketahui olehnya. Begitu ya? Yah mungkin karena saat ini mereka hanya teman kenalan biasa.

Sesuatu membuatnya tertarik ingin mengetahui hal lainnya dari sosok pemuda berambut putih ini. Ada sesuatu dibalik genggaman. Karena penasaran, jadinya melangkah mendekat. Berdiri di samping pemuda itu, entah disuka atau tidak, itu urusan nanti.

"Nee, boleh tahu satu hal?" Pelan-pelan wajahnya menoleh, beradu pandang dengan si mata hijau. Langsung saja melontarkan pertanyaannya sebelum disanggah.

"Mamoru itu siapamu?"

Dia... masih ingat tidak ya? Kejadian saat berada di taman Yume, dan itu pertama kali mereka bertemu. Dan ini salah satu pertanyaan yang dari dulu ingin ditanyakan langsung, kalau bisa jawabannya memuaskan sehingga bisa terlepas dari benaknya.

Angin kian terasa kencang. Dingin.

ooc: zakuchii~~~~~~~~~~~~~ gomenasai! hontou ni gomenasai!!!!! otl otl otl *baru bs bales tret*

---

Perlahan debaran jantung Kaoru semakin cepat saat ia menyadari hawa panas dari tubuh lelaki itu semakin mendekatinya, membakarnya dengan perasaan yang tidak ia mengerti. Kenapa kehadirannya membuatku begitu tersiksa... padahal dia bukan Mamoru.. Suara mereka boleh sama, tapi mereka tetap orang yang berbeda... Kaoru yang tak sengaja menatap mata pria itu yang tiba-tiba saja sudah berada di sampingnya dan mulai mengucapkan sekalimat pertanyaan, membuat Kaoru segera memaling tanpa sadar.

"Nee, boleh tahu satu hal? Mamoru itu siapamu?"

Kaoru segera memalingkan wajahnya lagi dan menatap tajam wajah pria itu. "Bagaimana kau tahu tentang Mamoru?" Tanya Kaoru geram, sama sekali tidak suka ada yang mengusik kenangannya dengan Mamoru. Tidak ada yang mengetahui tentang Mamoru, selain Noa. Tidak ada lagi orang yang tahu...

Dia bukan Mamoru, suara itu bukan suara Mamoru. Jangan terpengaruh olehnya Kaoru.. teriak Kaoru dalam hati membenci dirinya yang terlena oleh suara mirip Mamoru yang jelas bukan berasal dari Mamoru.

ooC: ngek... saya juga minta maap karna modem saya yang sangatlah melabil... n sempet kompi rusak orz <

---

"Bagaimana kau tahu tentang Mamoru?"

Eh?
Sepasang pernik coklatnya membesar. Tidak salah dengar kan? Dan ia tak salah mengingat kan? Bahwa memang pernah pemuda yang berasal dari sisi dorm yang sama ini pernah menyinggung hal itu. Bagaimana kalau dibantu mengingat? Misal dengan memberi tepukan keras dikepalamu sambil memberi senyuman lebar mengisyaratkan bahwa tepukan keras itu tidaklah sakit, sangat tidak sakit.

Mustahil, mustahil. Apa yang dipikirkan sih? Wajah ingin ditampar pelan agar tak terlalu terjerumus dalam emosi pikiran yang memberikan gambaran-gambaran kasar tentang pemuda polos ini. Tapi untuk apa, lebih baik jelaskan dalam ucapan bahwa ingatannya tak mungkin salah.

"Kau... pernah mengatakan begitu padaku" Yah apa boleh buat, senyum paksa ditampilkan. Anak itu tak ada salahnya juga, bisa saja lupa, namanya juga manusia, memori bisa saja berbeda-beda. Tapi entah mengapa dirinya bisa ingat, mungkin karena baru pertama kali ada yang menyangka dirinya mirip dengan seseorang, entah dari mananya ia belum tahu.

"Waktu itu kau pernah bergumam dalam tidur saat pertama kali kita bertemu" Kali ini senyumnya sudah terbentuk alami, tidak lagi dibuat-buat seperti tadi. Tatap lekat pada manik hijau yang ternyata begitu bening. "Kau mengira bahwa aku ini Mamoru. Yah saat itu mungkin kau masih setengah sadar" Sambil menunjuk-nunjuk pada wajahnya sendiri.

Kali ini apakah diingatnya? Kalau tidak... ya sudahlah...

ooc: kya kya kyaaa.. gue bahagia *pm nari hula-hula*

---

Kaoru menatapnya, walau otaknya tak ingin namun entah mengapa matanya terus terarah mengamati sepasang manik benih kecoklatan yang terasa begitu dalam, menenggelamkan Kaoru dan mengurungnya di sana. Tanpa disadarinya, Kaoru menahan nafasnya dan kehilangan kesadarannya untuk berpikir.

"Kau... pernah mengatakan begitu padaku"

Kaoru kembali ke alam sadarnya. "Ti--tidak mungkin. Aku tidak pernah..."

"Waktu itu kau pernah bergumam dalam tidur saat pertama kali kita bertemu" Kaoru terdiam sejenak. Saat itu ia memang sedang tertidur dan saat terbangun, ia tengah memeluk laki-laki itu erat. Kaoru menutup mulutnya, bola matanya membesar, walau sesungguhnya kedua bola mata itu memang lebih besar dari ukuran orang Jepang yang rata-rata memiliki mata sipit. Itu wajar karena Kaoru adalah setengah Inggris. "Kau mengira bahwa aku ini Mamoru. Yah saat itu mungkin kau masih setengah sadar" ucap laki-laki itu sambil menunjuk-nunjuk pada wajahnya sendiri.

Kaoru ingat, ia memang mengira laki-laki itu adalah Mamoru, tapi bukan karena wajahnya namun karena suaranya yang mengejukkan itu. "Bukan...." Ada jeda panjang setelahnya. "Bukan karena wajahmu..." ucap Kaoru miris.

Ada penyangkalan. Itu sudah pasti. Dan itu tak membuatnya untuk berhenti pada satu kalimat awal itu, yang bahkan membuat si perak terdiam. Mungkin menyimak dulu apa yang terlontar dari mulutnya untuk dicerna baik-baik. Entah. Yang jelas saat ini ia membutuhkan alasan pasti mengapa dirinya bisa disamakan dengan seseorang. Dan tak tahu dari mana rasa penasaran itu muncul begitu saja.

"Bukan...."

Sangkalan ke dua. Berkedip. Tercengang bukan berarti tenggelam dalam diam yang membuatnya terpaku dan tak bisa bergerak layaknya sebuah bongkahan es. Buktinya senyumnya masih ditunjukkan, dan pernik coklatnya masih tertuju pada si hijau zamrud. Belum melepas dari sana. Menunggu untuk kelanjutannya.

"Bukan karena wajahmu..."

Coba pikir lagi baik-baik dengan logika. Anak itu mengigau mengira dirinya adalah salah satu kenalan -- yang entah siapalah itu, tak ia pedulikan. Meski mengigau masih terlihat jelas ada kilatan zamrud kecil saat dirinya berada dalam dekapan yang tak sempat ia tahan. Kalau bukan wajah atau sosoknya, lantas mungkin saja... suara? Dan memang saat itu ia menegur sih...

"Begitu ya..?" Bulatan coklat yang tadi sempat melebar sudah tertutup oleh senyum yang merekah. Sayup-sayup angin dingin kembali memberinya sentuhan lembut di tubuhnya yang tertutup oleh seragam. Jadi teringat kalau sekarang adalah jam pelajaran.

"Cukup tersanjung," Kepalanya sedikit mendongak ke samping, namun bola matanya yang tertutup tadi tetap tertuju pada pemuda yang lebih pendek darinya. Kedua tangan ia simpan rapi dalam saku celana. "tapi maaf... aku tidak suka disamakan dengan orang lain lho.." Dan sekarang tubuhnya yang membungkuk, mensejajarkan jarak pandang dengan Kaoru. Senyum yang tadi biasa saja, kini terlihat ada percikan aura yang menginginkan dirinya adalah satu. Semirip-miripnya, tak mau disamakan. Itu berarti yang ada dihadapannya sekarang menganggapnya bukan sebagai Hideaki Seiji.

"Begitu ya..?"

Entah mengapa, Kaoru merasakan sesuatu yang menyakitkan di dadanya. Kenapa? Rasa sakit ini bukanlah rasa sakit akibat kerinduannya terhadap Mamoru, bukan karena mendengar refleksian suara Mamoru dari orang itu tapi sesuatu yang lain-- yang berbeda. Kaoru memaksakan manik zamrudnya ke arah manik coklat yang menenggelamkan itu. Padahal orang itu tersenyum namun kenapa Kaoru merasa bahwa orang itu tidak tersenyum selayaknya yang diperlihatkan dan kenapa itu mengganggu Kaoru.

"Cukup tersanjung," Kepala pemuda dengan surai coklatnya yang indah tertiup angin itu sedikit mendongak ke samping, namun bola matanya yang tertutup tadi tetap tertuju pada Kaoru yang menatapnya dengan menahan nafas, karena berada di dekat pria ini entah mengapa membuatnya kesulitan untuk melakukan kegiatan paling wajib bagi para manusia yang hidup itu. Kaoru tidak memerhatikan apapun lagi selain sepasang manik itu. "tapi maaf... aku tidak suka disamakan dengan orang lain lho.."

Aku tahu... Jawab Kaoru dan bukan maksudnya juga untuk menyamai Mamoru dengan orang di depannya ini. Kaoru memalingkan arah pandangannya menghindari tatapan tajam itu.

"Ja--jangan geer. Kau tidak sebanding dengan Mamoru-ku." Jawab Kaoru sedikit keras menutupi kegalauan hatinya. "K--kau... tidak akan pernah bisa dibandingkan dengannya..." Kaoru menatap kedua mata itu dengan maniknya yang berkaca-kaca. Bukan maksudnya untuk terlihat lemah namun, kenangan akan Mamoru memang belum bisa membuatnya tersenyum. Karena rasanya masih sangat sedih saat orang yang selalu diharapkan ada disampingnya tidak berada di tempat yang seharusnya.

"Permisi." Kaoru tidak tahan. Ia harus segera menjauh dari pengaruh pria itu. Ia harus pergi dan tidak boleh lagi ada kali berikutnya ia bertemu dengan pria itu. Tidak boleh...

Tapi... apa mungkin?

"Maaf." Ucap Kaoru pendek saat ia berhasil melangkah menjauh sejauh dua langkah. "Bukan maksudku untuk menyamai kalian." Kaoru berbalik. "Terima kasih." Kaoru tertunduk. "Aku hampir lupa bagaimana suaranya, bagaimana ia tertawa, bagaimana ia berbicara.. semuanya.. tapi, kau membuatku kembali ingat. Terima kasih." Kaoru menunduk--sangat berterima kasih. Satu hal itu tidak bisa di pungkiri Kaoru.

Sosok pemuda yang bertubuh lebih kecil darinya mendadak meninggikan suaranya. Tidak kaget sih, tapi berhasil membuatnya berkedip. Dan... hei... menangis? Entah. Tapi sepertinya memang seperti ingin menangis. Mungkin kata-kata dari Seiji memang terkesan pedas karena lidahnya memang cukup tajam. Apa yang terasa dalam perasaan, langsung diungkapkan. Walau mungkin tak ada maksud tertentu.

"Permisi."

...
Yah mungkin pemuda bersurai perak ini butuh ketenangan. Bagaimana pun tadi sebelum langkahnya kemari, anak itu sudah ada di tempat ini lebih dulu. Tak ada sanggahan, si pemuda yang lebih besar itu membiarkan Kaoru untuk pergi. Kalau nanti ditahannya pun, mungkin malah akan menambah perih akibat kata-katanya yang terkesan terlalu tegas

"Jadi... aku mengingatkanmu padanya ya?" Tetap pada posisi dimana kakinya berpijak. Menoleh lebih dulu, baru seluruh tubuhnya berputar balik, jadi berhadapan lagi dengan pemuda itu. "Kalau tak ingin teringat lagi, ya lupakan saja" Tersenyum, seakan kata-kata yang terucap dari lidah tajamnya tak terselubung suatu dosa. "Kalau memang aku ini selalu mengingatkanmu padanya, mungkin seharusnya tidak perlu bertemu lagi ya.. Kaoru-chan.."

Mungkin setelah ini akan didapatnya satu tamparan keras.

webe ya lo? ketauan banget :)) end aja apa ya? Terus lanjut baru lagi <3

---

Kaoru terdiam, matanya menatap lurus ke manik gelap itu entah untuk keberapa kalinya. Ia mengulas senyum tipis dan sedikit mengalihkan tatapannya ke arah rerumputan di sekitar Clock Tower ini. "Sayangnya--" Perlahan Kaoru kembali menatap ke arah pemuda yang bersuara menyerupai Mamoru-NYA. "--Aku tidak ingin melupakannya."--karena Aku masih sangat mencintainya juga kenangan yang dia berikan kepadaku.

Kaoru menghela nafasnya berat. Tidak banyak kata keluar dari mulutnya, tubuhnya juga tidak beranjak dari tempatnya berdiri. Matanya melihat ke arah lain selain ke arah tubuh besar menjulang di depannya. Ia tidak ingin membagi masalahnya ini pada sosok itu, namun entah bagaimana ia merasa begitu ingin membaginya, merasa dengan begitu dirinya akan merasa jauh lebih baik. Tapi kenapa? Apa hanya karena suara itu begitu menenangkannya sama menenangkannya seperti Mamoru.

Tapi ada yang membedakan mereka. Mamoru nampak begitu bahagia dan penuh cinta, namun orang ini, nampak begitu terpuruk dan menderita. Ya, mereka berbeda. Mereka manusia yang berbeda hanya saja tuhan sedikit jahil dengan memberikan resonansi suara yang sama antara orang itu dan Mamorunya.

"Apa aku tahu siapa kau?" Tanya Kaoru. "Dan kenapa kau tahu siapa namaku?"--merasa dirinya belum pernah memperkenalkan dirinya pada sosok di depannya ini.